Contoh
Kasus Hak Pekerja
Mau Menuntut Hak, Malah Di-PHK
Lima pekerja di salah satu perusahaan transportasi di
Pasuruan diberhentikan/ di-PHK karena bergabung dengan Serikat Pekerja.
Perusahaan PO.X memiliki beberapa divisi, diantaranya adalah divisi bengkel dan
divisi kru bis. Serikat Pekerja divisi bengkel telah berhasil menuntut hak
mereka yaitu mengenai upah, upah yang diberikan sebelumnya Rp. 25.000/hari
padahal Upah Minimum Kabupaten sebesar Rp. 40.000/hari dan biaya Jamsostek yang
100% dibebankan kepada pekerja. Sekarang divisi bengkel telah menikmati upah
yang sesuai dengan UMK dan memiliki Jamsostek yang dibayarkan oleh perusahaan.
Mengikuti kesuksesan divisi bengkel dalam menuntut hak
kerja mereka, para pekerja di divisi kru bis pun mulai bergabung dengan Serikat
Pekerja. Pekerja divisi kru bis banyak mengalami pelanggaran hak-hak pekerja,
diantaranya adalah pembagian upah yang menganut sistem bagi hasil.
Perhitungannya sistem bagi hasil tersebut adalah :
·
Supir : 14% dari pendapatan bersih per hari
·
Kondektur : 8% dari pendapatan bersih per hari
·
Kenek : 6% dari pendapatan bersih per hari
Apabila pekerja tidak masuk kerja akan dikenakan denda
sebanyak Rp. 500.000/hari kecuali tidak masuk kerja karena sakit. Tunjangan
Hari Raya pun tidak pernah diberikan kepada pekerja. Masalah lain adalah
mengenai tidak diberikannya fasilitas jamsostek, sehingga apabila terjadi
kecelakaan kerja (kecelakaan bus), pekerja harus menanggung sendiri biayanya.
Akan tetapi, perjuangan divisi kru bis lebih berat
dibanding divisi bengkel karena perusahaan sudah semakin pintar dalam berkelit.
Mereka tidak mempunyai Perjanjian Kerja Bersama (PKB), semua perintah dan
peraturan dikemukakan secara lisan sehingga pekerja tidak memiliki bukti
tertulis yang bisa dijadikan senjata untuk melawan perusahaan seperti halnya
yang dilakukan pekerja di divisi bengkel sebelumnya.
Kasus tersebut telah dilaporkan ke Dinas Tenaga Kerja
setempat, diputuskanlah bahwa kelima orang pekerja tersebut akan mendapat
pesangon dan kasusnya akan dibawa ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). (Http://www.gajimu.com. Diakses dari Internet pada Hari Kamis,
Tanggal 31 Oktober 2012, Pukul 01.15 WIB.)
Contoh
Kasus Iklan Tidak Etis
Provider
Telkomsel dan Xl
Betapa sengitnya perang antara provider
telkomsel dan xl ini bisa kita lihat pada layar kaca tidak lebih dari 2 minggu.
Pastilah kedua provider telekomunikasi itu sudah berganti iklan, kedua provider
telekomunikasi di indonesia ini bukan hanya menawarkan produkanya saja akan
keunggulan produk dari provider telekomunikasi tetapi selain beriklan mewarkan
produk juga mulai membanding-bandingkan provider kompetitornya.
Provider XL dahulu menampilkan iklan dengan
artis-artis ternama seperti Raffi Ahmad, Baim cilik hingga Sule disitu
diceritakan bahwa baim menipu om yaitu Sule.
Tak lama kemudian munculah iklan dari
Telkomsel namun yang mengejutkan artis yang membintangi iklan tersebut adalah
Sule yang notabene adalah artis dari XL disitu diceritakan bahwa Sule sebagai
artis yang sedang diwawancarai lalu berkata “kapok dibohongi anak kecil.”
Tak mau kalah dari pesaingnnya XL meluncurkan
aksinya namun tetap dalam masa kewajaran dimana di sana menceritakan sulap
gelas “ada yang berwana merah dan biru”
Telkomsel juga membuat iklan kembali dimana
diceritakan ada kawanan orang yang sedang melihat tv bilang “ini emang benar,
gak pake sulap sulapan….”
Telkomsel dengan jargon Sule tampaknya sedang
semangat-semangatnya mengejek kompetitornya dengan membuat iklan baru lagi dimana
disitu memunculkan Baim palsu dengan menampilkan bagian belakangnya.
Contoh
Kasus Etika Pasar Bebas
Korea
Menuduh Indonesia Melakukan Dumping Woodfree Copy Paper ke Korsel
Salah satu kasus yang terjadi antar anggota WTO
kasus antara Korea dan Indonesia, dimana Korea menuduh Indonesia melakukan
dumping woodfree copy paper ke Korsel sehingga Indonesia mengalami kerugian
yang cukup besar. Tuduhan tersebut menyebabkan Pemerintah Korsel mengenakan bea
masuk anti dumping (BMAD) sebesar 2,8 persen hingga 8,22 persen terhitung 7
November 2003. dan akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor produk itu
mengalami kerugian. Ekspor woodfree copy paper Indonesia ke Korsel yang tahun
2002 mencapai 102 juta dolar AS, turun tahun 2003 menjadi 67 juta dolar.
Karenanya, Indonesia harus melakukan yang terbaik
untuk menghadapi kasus dumping ini, kasus ini bermual ketika industri kertas
Korea mengajukan petisi anti dumping terhadap 16 jenis produk kertas Indonesia
antara lain yang tergolong dalam uncoated paper and paperboard used for writing
dan printing or other grafic purpose produk kertas Indonesia kepada Korean
Trade Commision (KTC) pada tanggal 30 september 2002 dan pada 9 mei 2003, KTC
mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT pabrik
kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat
0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC
menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan
ketentuan PT Pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat
diturunkan sebesar 8,22% dana untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan Indonesia
mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan
konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal
mencapai kesepakatan.
Karenanya, Indonesia meminta Badan
Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui proses-proses pemeriksaan, maka
DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan Indonesia terhadap pelanggaran
terhadap penentuan agreement on antidumping WTO dalam mengenakan tindakan
antidumping terhadap produk kertas Indonesia. Panel DSB menilai Korea telah
melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktek dumping produk
kertas dari Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam
menentukan bahwa industri domestik Korea mengalami kerugian akibat praktek
dumping dari produk kertas Indonesia
Contoh
Kasus Whistle Blowing
Kasus Penggelapan Pajak Oleh PT. Asian Agri
Group
PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu
induk usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto
Tanoto. Menurut majalah Forbes, pada tahun 2006 Tanoto adalah
keluarga paling kaya di Indonesia, dengan kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar
(sekitar Rp 25,5 triliun).
Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT
AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT
AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November
2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group financial controller di
PT AAG – yang mengetahui seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini
terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent kabur ke
Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting perusahaan tersebut. Dalam
pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.
Pada tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja
datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi
dengan sejumlah dokumen keuangan dan data digital.Salah satu dokumen tersebut
adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing
of Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua
persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci. Modusnya
dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm
Oil) keluaran PT AAG ke
perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar – untuk
kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu,
beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya
perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian adalah
perusahaan fiktif.
Pembeberan Vincent ini kemudian
ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan permasalahan tersebut ke Direktorat
Pajak – karena memang permasalahan PT AAG tersebut terkait erat dengan
perpajakan. Direktur
Jendral Pajak, Darmin Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas
pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim khusus
tersebut melakukan serangkaian penyelidikan – termasuk penggeledahan terhadap
kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut
(14 perusahaan diperiksa), ditemukan terjadinya penggelapan pajak yang berupa
penggelapan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Selain
itu juga "bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun
penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya
perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232
miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri
diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp
2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode
2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga
berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.
Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan,
pada bulan Desember 2007 telah ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing
berinisial ST, WT, LA, TBK, AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka
tersebut merupakan pengurus, direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di
samping itu, pihak Depertemen Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang
tersangka tersebut.
Terungkapnya kasus penggelapan pajak oleh PT
AAG tidak terlepas dari pemberitaan investigatif Tempo – baik
koran maupun majalah – dan pengungkapan dari Vincent. Dalam konteks
pengungkapan suatu perkara, apalagi perkara tersebut tergolong perkara kakap,
mustinya dua pihak ini mendapat perlindungan sebagai whistle blower.
Kenyataannya, dua pihak ini di-blaming. Alih-alih memberikan
perlindungan, aparat penegak hukum malah mencoba mempidanakan tindakan
para whistle blower ini. Vincent didakwa dengan
pasal-pasal tentang pencucian uang – karena memang dia, bersama rekannya,
sempat mencoba mencairkan uang PT AAG.
Penggelapan pajak bukanlah satu-satunya
perbuatan pidana yang bisa didakwakan kepada Asian Agri Group. Penyidikan
terhadap Asian Agri Group juga dapat dikembangkan pada tindak pidana pencucian
uang (money laundering).Dalam hal itu, penggelapan pajak
oleh Asian Agri Group perlu dilihat sebagai kejahatan asal (predict crime)
dari tindak pidana pencucian uang. Sebagaimana lazimnya, kejahatan pencucian
uang tidak berdiri sendiri dan terkait dengan kejahatan lain. Kegiatan
pencucian uang adalah cara untuk menghapuskan bukti dan menyamarkan asal-usul
keberadaan uang dari kejahatan yang sebelumnya. Dalam kasus ini,
penggelapan pajak dapat menjadi salah satu mata rantai dari kejahatan pencucian
uang.
Asian Agri Group mengecilkan laba perusahaan
dalam negeri agar terhindar dari beban pajak yang semestinya dengan cara
mengalirkan labanya ke luar negeri (Mauritius, Hongkong Macao,
dan British Virgin Island). Surat Pemberitahuan
Tahunan (SPT) kelompok usaha Asian Agri Group kepada Ditjen Pajak telah
direkayasa sehingga kondisinya seolah merugi (Lihat pernyataan Darmin Nasution,
Direktur Jenderal Pajak, mengenai rekayasa SPT itu). Modus semacam itu memang
biasa dilakukan dalam kejahatan pencucian uang, sebagaimana juga diungkapkan
oleh Ketua Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Hussein mengenai profile,
karakteristik, dan pola transaksi keuangan yang tidak beres sebagai indikasi
kuat adanya money laundering (Metro TV, 8/1/2008).
Kasus Asian Agri adalah cermin sempurna bagi
penegak hukum kita.Dari situ tergambar, sebagian dari mereka tidak
sungguh-sungguh menegakkan keadilan, malah berusaha menyiasati hukum dengan
segala cara. Tujuannya boleh jadi buat melindungi orang kaya yang diduga
melakukan kejahatan. Dan kalau perlu dilakukan dengan cara mengorbankan orang
yang lemah.Persepsi itu muncul setelah petugas Kepolisian Daerah Metro Jaya
bersentuhan dengan kasus dugaan penggelapan pajak Asian Agri, salah satu
perusahaan milik taipan superkaya, Sukanto Tanoto. Kejahatan ini diperkirakan
merugikan negara Rp 786 miliar. Polisi amat bersemangat mengusut Vincentius
Amin Sutanto, bekas pengontrol keuangan perusahaan itu, hingga akhirnya dihukum
11 tahun penjara pada Agustus lalu. Padahal justru dialah yang membongkar
dugaan penggelapan pajak dan money laundering oleh Asian Agri. Pemerintah
mestinya berterima kasih kepada mereka.
Jika kasus ini segera ditangani dengan
tuntas, amat besar uang negara yang bisa diselamatkan.Upaya ini juga akan
mencegah pengusaha lain melakukan penyelewengan serupa, sehingga tujuan
pemerintah mendongkrak penerimaan pajak tercapai.Tidak sewajarnya polisi
mengkhianati program pemerintah. Mereka seharusnya segera mengusut pula dugaan
pencucian uang yang dilakukan Asian Agri. Perusahaan ini diduga menyembunyikan
hasil "penghematan" pajak ke berbagai bank di luar negeri. Inilah
yang mestinya diprioritaskan dibanding membidik orang yang justru membantu
membongkar dugaan penggelapan pajak.
Sumber :
- Hardjasoemantri, Koesnadi, 1985, Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, Diucapkan di depan Rapat Senat Terbuka UGM, 15 Januari 1985.
- Harian Umum Kompas, Kamis 6 Maret 2008
- Harian Umum Kompas, Sabtu 8 Maret 2008.
- Harian Umum Kompas, Senin 3 Maret 2008.
- Mertokusumo, Sudikno, 1980, Beberapa Azas Pembuktian Perdata dan Penerapannya dalam Praktek, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, Diucapkan di depan Rapat Senat Terbuka UGM, 19 Januari 1980.
- Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
- Widjaja, Gunawan dan Yani, Akhmad 2001, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar